Saturday, October 06, 2007
One Day Backpacking: Menjelajah ke Kepulauan Seribu
Sabtu pagi itu, sekitar jam 06.00 wib kami awali dengan berkumpul bersama di depan Mal Ciputra, dan kemudian melakukan perjalanan menuju Muara Angke dengan angkutan kota. Sesampainya di Muara Angke, ternyata kami terlambat beberapa menit. Kapal klotok yang akan kami tumpangi baru saja meninggalkan dermaga. Namun, dewi keberuntungan ternyata menyertai perjalanan kami di pagi itu. Kapal klotok tersebut tenyata masih sangat dekat dan terlihat dari dermaga. Beberapa awak kapal lain yang ada di dermaga berupaya memanggil dan memberi tanda ke kapal yang akan kami tumpangi tersebut. Hasilnya, kapal itu pun bersedia kembali ke dermaga untuk mengangkut kami. Sang juru mudi yang baik hati pun dengan semangat mengangkut kami, kebetulan saat itu penumpang kapal memang tidak banyak, sehingga ia dengan senang hati menjemput kami kembali ke dermaga.
”Exciting” itu yang saya rasakan. Duduk lesehan di dalam kapal klotok bersama teman-teman, di dekat juru mudi yang asyik mengemudikan kapal, menikmati angin laut yang berhembus tenang.
Perjalanan yang kami tempuh dari Muara Angke menuju Pulau Untung Jawa memakan waktu sekitar satu jam. Dalam perjalanan menuju Pulau Untung Jawa, kami melewati beberapa gugus Kepulauan Seribu yang masih cukup dekat dengan pantai Jakarta, seperti Pulau Bidadari dan Pulau Onrust yang dari kejauhan menampakkan reruntuhan sisa-sisa benteng dan bangunan lainnya peninggalan kolonial.
Setelah satu jam naik kapal klotok, tibalah kami di Pulau Untung Jawa. Dermaga di pulau itu cukup ramai, karena Pulau Untung Jawa adalah pulau yang berpenduduk. Selain kapal klotok yang mengangkut kami, terdapat pula beberapa kapal motor yang lebih terbuka untuk mengangkut penduduk Untung Jawa menuju Tanjung Pasir, Tangerang, yang memang berjarak lebih dekat, dan bisa ditempuh hanya dalam waktu setengah jam saja.
Setelah mendapatkan banyak informasi dan contact person yang mudah kami hubungi, sambil menunggu waktu pulang, kami menyempatkan diri menyebrang dan juga survey ke Pulau Rambut. Dengan menyewa kapal penumpang jurusan Untung Jawa – Tanjung Pasir, kami transit ke Pulau Rambut, yang jaraknya sangat dekat dengan Untung Jawa.

Setelah hampir 30 menit melakukan trekking, kami pun sampai di menara pandang. Menara ini tingginya 20 meter. Untuk sampai di puncak menara, kami harus naik anak-anak tangga yang jumlahnya banyak. Satu lagi tantangan untuk saya: Menaklukan fobia ketinggian. Awal menaiki anak-anak tangga menara, saya sempat deg-degan, tetapi saya berusaha untuk tidak menatap ke bawah. Pandangan saya selalu saya arahkan ke atas, dan akhirnya sampai juga saya dan teman-teman di puncak menara.


Puas melakukan birdwatching dan menikmati keindahan pemandangan dari atas menara, kami pun kembali turun dan trekking ke area luar pulau. Saat itu, kami lagi-lagi bertemu dengan biawak besar yang sedang berjalan membelakangi kami. Di sisi lainnya, kami melihat biawak kecil, kemungkinan itu anaknya. Agak khawatir juga berada hanya beberapa meter dari biawak besar itu, namun karena ditemani jagawana, saya bisa melawan rasa khawatir itu.
Tidak lama, kami pun sampai di luar pulau. Kami masih harus menunggu kapal yang akan menjemput kami kembali ke Pulau Untung Jawa. Sambil menunggu, kami sempat berfoto dan juga berleyeh-leyeh di pinggir pantai menikmati angin laut serta pemandangan kapal nelayan yang hilir mudik berlayar sambil menjala ikan.
Sesampainya di Pulau Untung Jawa, kami kembali sejenak menyusuri pinggir pulau sambil melihat-lihat penginapan lainnya yang belum sempat kami jajaki. Tidak lama, waktu sudah menunjukkan jam 14.30 wib, pertanda kami harus bersiap-siap di dermaga untuk menanti kapal klotok yang menuju Muara Angke.
Ternyata kapal klotok dari arah Pulau Pramuka baru terlihat jam 15.30 wib, kami pun perlu untuk melambai-lambaikan tangan memberi tanda bahwa ada penumpang yang akan ikut menumpang ke Muara Angke. Dengan semangat, kami bertujuh melambai-lambaikan tangan di pinggir dermaga sampai kapal klotok itu berbalik arah menuju ke Pulau Untung Jawa untuk mengangkut kami.
Setelah itu, kami kembali melakukan perjalanan dengan angkutan kota ke terminal Grogol untuk kemudian melanjutkan pertemuan kami sambil berbuka puasa di Plaza Semanggi.
Sabtu itu benar-benar hari yang menyenangkan! Banyak hal-hal menarik, wawasan, dan pengalaman baru yang saya dapatkan dari perjalanan sehari itu. Di lain waktu, saya ingin kembali menjelajah ke Kepulauan Seribu sambil mencoba ber-snorkling ria menikmati keindahan bawah lautnya. What a wonderful life!


Ngabuburit ke Kampoeng Arab Pekojan
Minggu sore 23 September 2007, jam 14.30 wib, saya sudah berada di pelataran museum Fatahilah (Museum Sejarah Jakarta). Sore itu, saya bersama 100 orang teman milis dari Komunitas Jelajah Budaya (KJB) akan melakukan tour ke Kampung Arab di daerah Pekojan. Sambil ngabuburit menunggu waktu berbuka puasa, kami menjelajahi daerah Pekojan sambil menelusuri sejarah perkembangan islam dan masjid-masjid tua yang berdiri megah disana.Tour sore itu diawali dengan menyusuri gedung-gedung tua peninggalan kolonial di area Kali Besar ke arah Pekojan. Setelah kurang lebih 30 menit bejalan kaki, kami memasuki area kampung Pekojan dan disambut dengan keberadaan bangunan Masjid Al Anshor. Konon, dulunya masjid ini adalah sebuah surau yang dibangun tahun 1648 M oleh orang India. Hingga saat ini, makam tiga orang India tersebut masih dapat dilihat di area halaman masjid. Ketika kami berkunjung, masjid sedang mengalami renovasi, tetapi bangunan aslinya masih tampak jelas tanpa mengalami banyak perubahan. Masjid ini tidak terlalu besar dan berada di gang sempit perkampungan Pekojan.
Dari masjid ini, perjalanan kami lanjutkan dengan mengunjungi masjid Jami’atul Khair yang didirikan pada tahun 1901 M. Di masjid ini, sempat terbentuk dan lahir organisasi pemuda islam yang menyebarkan paham Pan Islamisme di Batavia dan Nusantara, serta ide awal berdirinya organisasi Budi Utomo dari para pemuda islam saat itu. Bangunan masjid Jami’atul Khair merupakan bangunan lama dengan ciri khas daun-daun jendela kayu yang besar-besar dan lebar, seperti yang pernah saya temui pada gedung tua Candranaya di Glodok. Di dalam masjid bagian belakang, masih dapat saya lihat sebuah kolam yang dahulu pernah digunakan sebagai tempat berwudhu.
Saya dan teman-teman pun melanjutkan perjalanan menuju masjid An Nawier. Sebelum sampai di masjid itu, kami melewati masjid Zawiah yang dulunya merupakan sebuah langgar kecil. Sayangnya, masjid tersebut telah mengalami renovasi total di tahun 1980, dan sama sekali menghilangkan arsitektur bangunan lamanya. Masjid ini didirikan oleh Habib Ahmad bin Hamzah Alatas yang mengajarkan kitab Fathul Mu’in sebuah kitab kuning yang sekarang masih dijadikan rujukan di kalangan kaum tradisional. Di dekat masjid ini terdapat sebuah rumah tua dengan gaya arsitektur Moor, yaitu gaya arsitektur khas timur tengah, yang kini ditempati oleh keluarga Aljufri.
Dan sampailah kami di masjid An Nawier. Wow, masjid ini benar-benar masjid tua yang cukup megah! Pada papan informasi yang saya lihat, masjid ini dibangun pada tahun 1760 M, namun hingga kini masih berdiri kokoh dengan bangunan aslinya. Ciri khas masjid ini, didalamnya saya bisa melihat banyak tiang-tiang megah berdiri dan juga mimbar masjid yang megah tempat khatib berceramah. Konon mimbar ini adalah hadiah dari Sultan Pontianak yang diberikan pada abad ke-18. Di halaman masjid dapat saya lihat beberapa makam keluarga pendiri masjid ini. Dan satu hal lagi yang menarik saya, di masjid ini terdapat sebuah menara setinggi 17 meter, yang dulu pernah digunakan untuk adzan dan juga tempat bersembunyi para pejuang kemerdekaan dari hadapan musuh. Saya sempat penasaran dan naik ke atas menara, namun sayangnya hanya sampai setengah perjalanan saja, tidak sampai pada puncaknya. Di dalam menara terdapat anak tangga yang berliku-liku dan sempit untuk dilewati oleh banyak pengunjung. Hal ini yang juga membuat saya urung menuju puncak menara.
Perjalanan sore itu kami lanjutkan kembali menuju Masjid Langgar Tinggi. Sebelum sampai di masjid itu, kami melewati Jembatan Kambing, dimana di dekat jembatan terdapat pusat perdagangan dan pejagalan kambing yang terkenal sejak dulu. Tentu saja saat melewati area itu, saya sempat mencium bau kambing yang cukup mencolok. Untungnya hanya sejenak saja saat melintas.
Tidak lama kemudian, sampailah kami di Masjid Langgar Tinggi. Masjid ini berada tepat di pinggir kali Angke. Masjid ini dibangun pada tahun 1829 M oleh seorang kapiten Arab bernama Syekh Said Naum. Bangunan masjid ini masih asli, tanpa ada perubahan sedikitpun. Bangunannya berlantai dua, di lantai satu merupakan tempat tinggal keluarga keturunan Arab dan di lantai dua adalah tempat beribadah. Dulu, dari sisi kanan masjid ada sebuah pintu akses langsung dari kali Angke menuju masjid. Gunanya untuk para pedagang yang berlayar melintasi kali Angke dan ingin beribadah, dapat langsung memasuki area tempat wudhu masjid. Tetapi saat ini kondisi kali Angke sangatlah berbeda dan sudah tercemar, sehingga akses tersebut ditutup.
Setelah puas berkeliling kampung Arab di Pekojan, saya dan teman-teman kembali menyusuri area Pecinan dan kota tua Jakarta menuju pelataran museum Fatahilah untuk berbuka puasa bersama disana. Sesampainya di museum Fatahilah, kami disambut oleh suara adzan Magrib, tanda berbuka puasa telah tiba. Panitia pun sudah menyiapkan kolak dan juga nasi box sebagai menu berbuka puasa. Betapa senang dan nikmatnya, saya bisa berbuka puasa dan juga sholat magrib beramai-ramai di halaman belakang museum Fatahilah. Ngabuburit yang mengasyikkan! Waktu berbuka sampai tak terasa lamanya karena asyik berjalan-jalan menyusuri sejarah islam di Kampung Arab Pekojan.
(Terima kasih kepada Komunitas Jelajah Budaya dan Museum Sejarah Jakarta)

Liburan seru ke Ciamis dan Pangandaran

Kami berangkat dari Bekasi hari Jumat pagi, dengan menggunakan bis umum jurusan Bekasi – Pangandaran. Perjalanan ke kota Ciamis menempuh waktu 6 jam perjalanan. Untuk sampai ke rumah nenek, dari kota Ciamis, saya kembali menggunakan angkutan desa, dan menempuh perjalanan sekitar 1 jam. Saya sudah sangat rindu dengan suasana di rumah nenek yang terletak di lereng perbukitan, berhawa dingin, di sisi kanan rumah nenek terdapat hamparan sawah yang hijau, pohon-pohon rindang, dan juga kolam (balong) ikan yang luas. Suasana desa yang begitu tenang, pemandangan hijau yang saya temui, udara sejuk yang saya rasakan, mampu membuat saya rileks dan melupakan sejenak rutinitas serta hiruk pikuk kepenatan kota Jakarta.
Selama perjalanan menuju rumah nenek, saya sangat menikmati suasana sore hari itu. Orang-orang desa berbahasa Sunda halus hilir mudik naik dan turun angkutan, saling menyapa, mata saya pun memandang ke luar jendela yang menghembuskan angin sejuk pegunungan, terlihat hamparan terasering sawah berwarna hijau dan kuning, aliran sungai yang jernih, jalanan desa yang berlika-liku mengitari perbukitan, rimbunnya pepohonan, rumput-rumput liar yang tumbuh di dinding bukit, rumah-rumah panggung tradisional, benar-benar suasana berlibur yang sempurna, tenang dan nyaman.

Rumah Nenek
Tepat jam 16.00 wib, saya tiba di rumah nenek. Dengan senang hati, nenek menyambut kedatangan saya dan ibu saya. Rumah nenek tidak banyak berubah, namun sekarang lebih tertata rapi, taman-tamannya dipenuhi pohon-pohon buah dan beberapa tanaman bunga, rumput-rumput hijau terpangkas rapi, kolam ikan mas di depan rumah yang menimbulkan suara gemericik air, gazebo di taman tepat di pinggir balong ikan menghadap ke sawah di sisi kanan rumah. Nyaman sekali!


Backpacking sehari ke Pangandaran
Sabtu pagi, saya dan ibu saya akan melakukan backpacking ke Pangandaran. Perjalanan dari rumah nenek ke pantai Pangandaran kami tempuh selama 3 jam. Kami kembali menumpang angkutan desa dari depan rumah nenek sampai ke terminal Ciamis. Dari terminal Ciamis, kami menggunakan bis seukuran metro mini di Jakarta dengan jurusan Tasikmalaya – Cijulang, rutenya lewat Pangandaran. Perjalanan pagi itu kami tempuh dengan senang hati. Jalanan yang berkelok-kelok dan udara pegunungan yang sejuk menyertai perjalanan kami. Setelah 2 jam perjalanan, sampailah kami di terminal Pangandaran.
Saat kami tiba, waktu menunjukkan pukul 10.30 wib. Untuk menuju ke kawasan pantai Pangandaran, kami perlu naik becak dari terminal Pangandaran. Sebenarnya jarak tempuhnya tidak terlalu jauh, namun jika ditempuh dengan berjalan kaki sepertinya akan lumayan melelahkan juga.


Setelah menghabiskan semangkuk bubur ayam, saya dan ibu melanjutkan perjalanan menjelajah area Pangandaran dengan menyewa sepeda.



Selanjutnya, saya dan ibu kembali bersepeda menyusuri tepi pantai dan menyempatkan diri mampir ke kios penjual ikan asin untuk membeli beberapa oleh-oleh. Berbagai jenis dan bentuk ikan asin dijual disini dengan harga yang relatif jauh lebih murah daripada di Jakarta. Puas berbelanja oleh-oleh, kami kembali melakukan perjalanan dengan sepeda. Saat itu, saya sempat prihatin dan simpati saat bersepeda melintasi sisa bangunan-bangunan yang hancur diterpa tsunami.



Ajang Pilkades
Minggu pagi di rumah nenek, ada menu sarapan yang khas saya temui di rumah nenek, yaitu serabi yang dimakan dengan rempeyek kacang. Berbeda dengan serabi di Jakarta, yang dimakan dengan kuah gula merah. Pagi itu setelah sarapan, saya, ibu saya, nenek, dan beberapa saudara saya lainnya bersiap-siap menuju lapangan desa untuk menyaksikan ajang pemilihan kepala desa (Pilkades) secara langsung oleh warga desa.





Benar-benar liburan singkat yang menyenangkan!
