Saturday, October 06, 2007
Ngabuburit ke Kampoeng Arab Pekojan
Minggu sore 23 September 2007, jam 14.30 wib, saya sudah berada di pelataran museum Fatahilah (Museum Sejarah Jakarta). Sore itu, saya bersama 100 orang teman milis dari Komunitas Jelajah Budaya (KJB) akan melakukan tour ke Kampung Arab di daerah Pekojan. Sambil ngabuburit menunggu waktu berbuka puasa, kami menjelajahi daerah Pekojan sambil menelusuri sejarah perkembangan islam dan masjid-masjid tua yang berdiri megah disana.Tour sore itu diawali dengan menyusuri gedung-gedung tua peninggalan kolonial di area Kali Besar ke arah Pekojan. Setelah kurang lebih 30 menit bejalan kaki, kami memasuki area kampung Pekojan dan disambut dengan keberadaan bangunan Masjid Al Anshor. Konon, dulunya masjid ini adalah sebuah surau yang dibangun tahun 1648 M oleh orang India. Hingga saat ini, makam tiga orang India tersebut masih dapat dilihat di area halaman masjid. Ketika kami berkunjung, masjid sedang mengalami renovasi, tetapi bangunan aslinya masih tampak jelas tanpa mengalami banyak perubahan. Masjid ini tidak terlalu besar dan berada di gang sempit perkampungan Pekojan.
Dari masjid ini, perjalanan kami lanjutkan dengan mengunjungi masjid Jami’atul Khair yang didirikan pada tahun 1901 M. Di masjid ini, sempat terbentuk dan lahir organisasi pemuda islam yang menyebarkan paham Pan Islamisme di Batavia dan Nusantara, serta ide awal berdirinya organisasi Budi Utomo dari para pemuda islam saat itu. Bangunan masjid Jami’atul Khair merupakan bangunan lama dengan ciri khas daun-daun jendela kayu yang besar-besar dan lebar, seperti yang pernah saya temui pada gedung tua Candranaya di Glodok. Di dalam masjid bagian belakang, masih dapat saya lihat sebuah kolam yang dahulu pernah digunakan sebagai tempat berwudhu.
Saya dan teman-teman pun melanjutkan perjalanan menuju masjid An Nawier. Sebelum sampai di masjid itu, kami melewati masjid Zawiah yang dulunya merupakan sebuah langgar kecil. Sayangnya, masjid tersebut telah mengalami renovasi total di tahun 1980, dan sama sekali menghilangkan arsitektur bangunan lamanya. Masjid ini didirikan oleh Habib Ahmad bin Hamzah Alatas yang mengajarkan kitab Fathul Mu’in sebuah kitab kuning yang sekarang masih dijadikan rujukan di kalangan kaum tradisional. Di dekat masjid ini terdapat sebuah rumah tua dengan gaya arsitektur Moor, yaitu gaya arsitektur khas timur tengah, yang kini ditempati oleh keluarga Aljufri.
Dan sampailah kami di masjid An Nawier. Wow, masjid ini benar-benar masjid tua yang cukup megah! Pada papan informasi yang saya lihat, masjid ini dibangun pada tahun 1760 M, namun hingga kini masih berdiri kokoh dengan bangunan aslinya. Ciri khas masjid ini, didalamnya saya bisa melihat banyak tiang-tiang megah berdiri dan juga mimbar masjid yang megah tempat khatib berceramah. Konon mimbar ini adalah hadiah dari Sultan Pontianak yang diberikan pada abad ke-18. Di halaman masjid dapat saya lihat beberapa makam keluarga pendiri masjid ini. Dan satu hal lagi yang menarik saya, di masjid ini terdapat sebuah menara setinggi 17 meter, yang dulu pernah digunakan untuk adzan dan juga tempat bersembunyi para pejuang kemerdekaan dari hadapan musuh. Saya sempat penasaran dan naik ke atas menara, namun sayangnya hanya sampai setengah perjalanan saja, tidak sampai pada puncaknya. Di dalam menara terdapat anak tangga yang berliku-liku dan sempit untuk dilewati oleh banyak pengunjung. Hal ini yang juga membuat saya urung menuju puncak menara.
Perjalanan sore itu kami lanjutkan kembali menuju Masjid Langgar Tinggi. Sebelum sampai di masjid itu, kami melewati Jembatan Kambing, dimana di dekat jembatan terdapat pusat perdagangan dan pejagalan kambing yang terkenal sejak dulu. Tentu saja saat melewati area itu, saya sempat mencium bau kambing yang cukup mencolok. Untungnya hanya sejenak saja saat melintas.
Tidak lama kemudian, sampailah kami di Masjid Langgar Tinggi. Masjid ini berada tepat di pinggir kali Angke. Masjid ini dibangun pada tahun 1829 M oleh seorang kapiten Arab bernama Syekh Said Naum. Bangunan masjid ini masih asli, tanpa ada perubahan sedikitpun. Bangunannya berlantai dua, di lantai satu merupakan tempat tinggal keluarga keturunan Arab dan di lantai dua adalah tempat beribadah. Dulu, dari sisi kanan masjid ada sebuah pintu akses langsung dari kali Angke menuju masjid. Gunanya untuk para pedagang yang berlayar melintasi kali Angke dan ingin beribadah, dapat langsung memasuki area tempat wudhu masjid. Tetapi saat ini kondisi kali Angke sangatlah berbeda dan sudah tercemar, sehingga akses tersebut ditutup.
Setelah puas berkeliling kampung Arab di Pekojan, saya dan teman-teman kembali menyusuri area Pecinan dan kota tua Jakarta menuju pelataran museum Fatahilah untuk berbuka puasa bersama disana. Sesampainya di museum Fatahilah, kami disambut oleh suara adzan Magrib, tanda berbuka puasa telah tiba. Panitia pun sudah menyiapkan kolak dan juga nasi box sebagai menu berbuka puasa. Betapa senang dan nikmatnya, saya bisa berbuka puasa dan juga sholat magrib beramai-ramai di halaman belakang museum Fatahilah. Ngabuburit yang mengasyikkan! Waktu berbuka sampai tak terasa lamanya karena asyik berjalan-jalan menyusuri sejarah islam di Kampung Arab Pekojan.
(Terima kasih kepada Komunitas Jelajah Budaya dan Museum Sejarah Jakarta)
