Saturday, October 06, 2007
Liburan seru ke Ciamis dan Pangandaran

Akhir Juli yang lalu saya mengambil cuti untuk berlibur ke rumah nenek di sebuah desa di pegunungan Ciamis, dan juga berbackpacking bersama ibu saya ke Pangandaran.
Kami berangkat dari Bekasi hari Jumat pagi, dengan menggunakan bis umum jurusan Bekasi – Pangandaran. Perjalanan ke kota Ciamis menempuh waktu 6 jam perjalanan. Untuk sampai ke rumah nenek, dari kota Ciamis, saya kembali menggunakan angkutan desa, dan menempuh perjalanan sekitar 1 jam. Saya sudah sangat rindu dengan suasana di rumah nenek yang terletak di lereng perbukitan, berhawa dingin, di sisi kanan rumah nenek terdapat hamparan sawah yang hijau, pohon-pohon rindang, dan juga kolam (balong) ikan yang luas. Suasana desa yang begitu tenang, pemandangan hijau yang saya temui, udara sejuk yang saya rasakan, mampu membuat saya rileks dan melupakan sejenak rutinitas serta hiruk pikuk kepenatan kota Jakarta.
Selama perjalanan menuju rumah nenek, saya sangat menikmati suasana sore hari itu. Orang-orang desa berbahasa Sunda halus hilir mudik naik dan turun angkutan, saling menyapa, mata saya pun memandang ke luar jendela yang menghembuskan angin sejuk pegunungan, terlihat hamparan terasering sawah berwarna hijau dan kuning, aliran sungai yang jernih, jalanan desa yang berlika-liku mengitari perbukitan, rimbunnya pepohonan, rumput-rumput liar yang tumbuh di dinding bukit, rumah-rumah panggung tradisional, benar-benar suasana berlibur yang sempurna, tenang dan nyaman.
Rumah NenekTepat jam 16.00 wib, saya tiba di rumah nenek. Dengan senang hati, nenek menyambut kedatangan saya dan ibu saya. Rumah nenek tidak banyak berubah, namun sekarang lebih tertata rapi, taman-tamannya dipenuhi pohon-pohon buah dan beberapa tanaman bunga, rumput-rumput hijau terpangkas rapi, kolam ikan mas di depan rumah yang menimbulkan suara gemericik air, gazebo di taman tepat di pinggir balong ikan menghadap ke sawah di sisi kanan rumah. Nyaman sekali!

Sesampai di rumah nenek, saya beristirahat sejenak, kemudian membersihkan diri dan beribadah ashar. Setelah itu, saya tidak sabar untuk segera berleyeh-leyeh di gazebo sambil menikmati udara sejuk dan suasana desa sore hari itu. Sesorean itu, saya, ibu saya dan nenek menghabiskan waktu menanti adzan magrib di gazebo sambil mengobrol dan melepas rindu.
Backpacking sehari ke PangandaranSabtu pagi, saya dan ibu saya akan melakukan backpacking ke Pangandaran. Perjalanan dari rumah nenek ke pantai Pangandaran kami tempuh selama 3 jam. Kami kembali menumpang angkutan desa dari depan rumah nenek sampai ke terminal Ciamis. Dari terminal Ciamis, kami menggunakan bis seukuran metro mini di Jakarta dengan jurusan Tasikmalaya – Cijulang, rutenya lewat Pangandaran. Perjalanan pagi itu kami tempuh dengan senang hati. Jalanan yang berkelok-kelok dan udara pegunungan yang sejuk menyertai perjalanan kami. Setelah 2 jam perjalanan, sampailah kami di terminal Pangandaran.
Saat kami tiba, waktu menunjukkan pukul 10.30 wib. Untuk menuju ke kawasan pantai Pangandaran, kami perlu naik becak dari terminal Pangandaran. Sebenarnya jarak tempuhnya tidak terlalu jauh, namun jika ditempuh dengan berjalan kaki sepertinya akan lumayan melelahkan juga.

Sepi, benar-benar sepi suasana Pangandaran hari itu. Jarang sekali tampak mobil berlalu lalang di jalanan. Hanya terlihat satu dua saja, yang lainnya hanya becak, motor, ataupun sepeda. Namun tetap tidak seramai biasanya. Mungkin karena orang-orang masih takut atau mungkin trauma paska tsunami, sehingga masih enggan berkunjung ke Pangandaran. Kebetulan Juli itu saat saya berkunjung kesana, tepat setahun paska tsunami Pangandaran. Hanya suara deburan ombak yang cukup keras, dan hembusan angin laut yang lumayan kencang yang meramaikan suasana di tepi pantai hari itu.

Turun dari becak, kami sempat mampir sejenak di penjual bubur ayam yang mangkal di tepi pantai. Sambil menyantap bubur ayam, saya menikmati deburan ombak di tepi pantai Pangandaran, dan memperhatikan sekumpulan nelayan yang sedang menjalin jala-jala ikan sebelum pergi melaut.
Setelah menghabiskan semangkuk bubur ayam, saya dan ibu melanjutkan perjalanan menjelajah area Pangandaran dengan menyewa sepeda.

Wah, asyik sekali bersepeda di sepanjang pantai Pangandaran, apalagi jalanan hari itu sangat sepi. Kami menyusuri Pantai Barat Pangandaran kemudian ke Pantai Timur, melewati penginapan-penginapan yang sepi wisatawan, kios-kios penjual ikan asin, pernak-pernik khas Pangandaran, baju-baju pantai. Puas berkeliling, kami memutuskan untuk mampir ke tempat pelelangan ikan, memilih udang dan kepiting untuk kami santap saat makan siang. Tidak terasa waktu siang itu sudah menunjukkan jam 12.00 wib, berarti tiba saatnya makan siang. Udang dan kepiting yang kami beli, diolah terlebih dahulu oleh Sang Koki, untuk kemudian dihidangkan kepada kami. Duh, nikmatnya makan siang dengan menu kepiting asam manis dan udang bakar, di rumah makan yang berhadapan langsung dengan laut di Pantai Timur Pangandaran.

Sambil menyantap makan siang, saya menikmati pemandangan di depan mata saya, hamparan laut biru tosca yang luas, kapal-kapal nelayan yang berlayar diatasnya, langit yang biru cerah, perbukitan yang tampak samar dari kejauhan, indah sekali!

Setelah kenyang bersantap siang, kami melanjutkan bersepeda menyusuri tepian pantai menuju lokasi Suaka Cagar Alam Pangandaran. Sayangnya, siang itu kami tidak sempat masuk ke dalam cagar alam. Dari depan pintu masuk area cagar alam, saya sempat mengambil beberapa foto perahu-perahu nelayan yang sedang menepi berbaris di tepian pantai berpasir putih bersih, dengan latarbelakang lautan luas berwarna biru dan hijau tosca.
Selanjutnya, saya dan ibu kembali bersepeda menyusuri tepi pantai dan menyempatkan diri mampir ke kios penjual ikan asin untuk membeli beberapa oleh-oleh. Berbagai jenis dan bentuk ikan asin dijual disini dengan harga yang relatif jauh lebih murah daripada di Jakarta. Puas berbelanja oleh-oleh, kami kembali melakukan perjalanan dengan sepeda. Saat itu, saya sempat prihatin dan simpati saat bersepeda melintasi sisa bangunan-bangunan yang hancur diterpa tsunami.

Bangunan-banguan tersebut kebanyakan adalah penginapan dan beberapa mushola. Kemungkinan pemiliknya tidak mampu untuk membangun dan berbisnis kembali, sehingga bangunan tersebut dibiarkan hancur.

Melihat dampak kehancuran bangunan, saya merasa ngeri membayangkan tragedi tsunami di Pangandaran setahun lalu. Betapa dahsyatnya, walaupun tidak separah Aceh, namun tetap saja mengerikan dan memprihatinkan. Akibatnya, pariwisata di Pangandaran menjadi sepi dan wisatawannya menurun.

Setelah puas bersepeda menjelajah area wisata Pangandaran dan bermain di tepi pantai, saya dan ibu kembali pulang dengan menumpang becak menuju terminal Pangandaran, untuk kembali ke rumah nenek di Ciamis. Sepanjang perjalanan di becak, saya mengobrol dengan tukang becak. Dia bercerita mengenai tragedi tsunami setahun yang lalu, dimana air laut membanjiri area Pangandaran sampai ke dekat terminal Pangandaran. Akibatnya, pariwisata di Pangandaran menurun drastis. Wisatawan masih merasa takut, tukang perahu pun terkena dampaknya, karena wisatawan enggan diajak berwisata naik perahu ke tempat terumbu karang di tengah pantai Pangandaran. Begitu juga dengan pemilik penginapan, penjual ikan asin, ataupun oleh-oleh lainnya di sepanjang pantai Pangandaran. Semua terkena dampaknya. Sungguh ironis!
Ajang PilkadesMinggu pagi di rumah nenek, ada menu sarapan yang khas saya temui di rumah nenek, yaitu serabi yang dimakan dengan rempeyek kacang. Berbeda dengan serabi di Jakarta, yang dimakan dengan kuah gula merah. Pagi itu setelah sarapan, saya, ibu saya, nenek, dan beberapa saudara saya lainnya bersiap-siap menuju lapangan desa untuk menyaksikan ajang pemilihan kepala desa (Pilkades) secara langsung oleh warga desa.

Kata nenek, ajang pemilihan langsung seperti ini baru ada saat ini, sehingga suasananya pasti akan sangat meriah. Wah, benar saja! Sesampainya saya di lapangan desa, sudah banyak warga yang menunggu waktu pencoblosan dimulai dengan wajah optimis. Lapangan desa tidak hanya dipenuhi warga, tetapi juga para penjaja makanan, penjual alat kebutuhan rumah tangga, mainan anak, sampai pakaian juga ikut memeriahkan suasana pilkades. Seru sekali!

Saya sempat kaget dan terkagum-kagum saat melihat trus-truk besar melintas di depan saya, memasuki area parkir lapangan desa. Truk-truk itu mengangkut warga-warga desa yang ingin mencoblos secara langsung calon pemimpin desanya.

Wow, hebat! Ternyata di desa kecil dan terpencil seperti ini, proses demokrasi dapat berjalan lancar dan tertib. Para warga desa terlihat sangat antusias.

Belum habis rasa kagum saya, kembali saya dikejutkan dengan pemandangan seorang anak muda yang menggendong ibunya yang sakit dan tidak bisa berjalan, namun dengan penuh semangat si ibu hadir di lapangan desa demi memenuhi hak pilihnya, amazing!

Sayangnya, hari itu saya dan ibu tidak bisa mengikuti secara penuh acara pemilihan kepala desa, karena kami harus kembali ke Jakarta. Siang hari, sekitar jam 12.30 wib, kami kembali ke Jakarta naik mobil bersama dengan saudara-saudara kami yang lain. Perjalanan siang itu ditempuh dengan kecepatan yang cukup tinggi, hasilnya perjalanan Ciamis – Bekasi hanya memakan waktu 4,5 jam saja.
Benar-benar liburan singkat yang menyenangkan!
si doyan jalan foot step on 9:07 PM.
