Monday, September 11, 2006
Manjakan lidah, berwisata kuliner di Bandung
Ingin liburan namun tidak memiliki waktu luang yang cukup panjang? Tidak perlu bingung, Anda bisa mencoba berwisata kuliner di Bandung. Setelah ada tol Cipularang, perjalanan Jakarta-Bandung dapat ditempuh sekitar 2 jam perjalanan. Jika Anda hanya memiliki satu hari saja untuk berlibur, Bandung memang tempat yang pas karena liburan dapat Anda jalani tanpa menginap alias berkendara pulang-pergi.Saya pun demikian, jika saya tidak memiliki waktu yang panjang untuk berlibur, saya dan teman-teman memilih untuk berwisata kuliner di Bandung selama sehari semalam. Perjalanan dari Jakarta menuju Bandung lebih nyaman ditempuh di pagi hari, selain matahari belum terik sinarnya, situasi jalanan pun belum terlalu padat. Bahkan saya dan teman-teman pernah mewujudkan keinginan kami bersama untuk sarapan pagi dengan menu bubur ayam di daerah Dago. Kami sengaja berkeinginan seperti itu untuk membuktikan bahwa saat ini Bandung memang menjadi sangat dekat dengan Jakarta. Puas rasanya setelah memenuhi keinginan tersebut.
WaLe-Rancakendal, Dago Atas
Perjalanan kuliner dimulai siang hari. Tempat pertama yang saya dan teman-teman kunjungi untuk menyantap makan siang adalah WaLe alias Warung Lela didaerah Rancakendal, Dago Atas. Menu utama yang ditawarkan WaLe adalah berbagai jenis hidangan mie, mulai dari mie ayam, mie yamin, mie bakso, mie pangsit, mie goreng, dan lain-lain. Tapi ada juga menu lainnya seperti siomay ataupun nasi goreng. Jenis minuman yang ada di WaLe juga bermacam-macam, aneka jus segar, yoghurt, serta aneka olahan teh dan kopi. Tapi yang paling saya suka adalah jus strawberry-nya yang super segar, dengan rasa buah strawberry yang benar-benar asli. Sangat segar dan nikmat untuk saya minum di siang hari yang panas. Rasa makanan di WaLe enak, selain itu harganya pun tergolong murah dan terjangkau, tidak hanya untuk umum tapi juga pas untuk kantong mahasiswa.

Di WaLe, kita tidak hanya sekedar makan, tapi juga bisa menikmati pemandangan perbukitan di wilayah Dago Atas. Bangunan dan interior WaLe tergolong unik karena dibuat ala bangunan Bali yang berundak-undak.

Es Duren, Tubagus Ismail (Dekat simpang Dago)
Setelah menyantap makan siang di WaLe, teman saya tiba-tiba mengeluarkan ide untuk mengunjungi tempat es duren. Karena saya pecinta duren dan kebetulan belum pernah mencicipi es duren ala Dago, maka tertariklah saya untuk ikut mencoba. Dari Dago Atas, saya dan teman-teman meluncur ke Jl. Juanda, dan kemudian berbelok di Jl. Tubagus Ismail. Karena malas berpanas-panas, saya melontarkan ide untuk membungkus es duren tersebut, namun teman-teman saya justru menertawakan ide saya. Tanpa memberikan alasan yang jelas, mereka hanya berkomentar bahwa tidak seru jika makan es duren tidak pada tempatnya, lagipula menurut mereka es duren sulit untuk dibawa pulang. Makin bingung lah saya yang belum pernah mencicipi es duren di jalan Tubagus Ismail ini.
Wah, saya sangat kaget setelah pesanan es duren datang di meja saya. Ternyata es duren yang dimaksud sangat berbeda dengan es duren yang ada di benak saya. Es duren ini benar-benar duren yang sesungguhnya! Jadi es duren tersebut adalah isi duren asli (masih dengan biji-bijinya) dihidangkan di dalam sebuah mangkuk besar bersama dengan es batu dan kuah yang dicampur sedikit susu kental manis. Dahsyat! Bagi saya yang pecinta duren, pemandangan yang ada di meja itu sangat sayang untuk dilewatkan, apalagi untuk dicicipi. Hummm, ternyata rasanya cukup lekker, this is the real taste of durian!
Sierra cafe & lounge, Dago Atas
Siang hingga sore hari di Bandung saya lewati dengan wisata kuliner dan berbelanja sejenak di distro serta FO-FO. Malam pun tiba, dan ini berarti saya dan teman-teman kembali mencari tempat berwisata kuliner untuk makan malam bersama. Setelah memilih beberapa tempat, akhirnya kami menetapkan pilihan untuk menyantap makan malam di Sierra cafe & lounge, di wilayah Dago atas yang dingin. Selain pilihan makanannya banyak, mulai dari menu Indonesia sampai dengan western food, Sierra juga menawarkan kenyamanan melalui penataan interior dan eksterior restorannya. Terletak di dataran tinggi, bangunan Sierra dibuat cantik berundak-undak dengan tatanan taman yg unik minimalis, membuat Sierra tampak begitu sempurna.
Saya dan teman-teman memilih tempat duduk nyaman di teras luar di bagian belakang Sierra. Kami sengaja memilih duduk disana, karena ingin mendapatkan pemandangan indah kota Bandung di malam hari yang dipenuhi terang cahaya lampu terlihat dari kejauhan.

Karena udara yang dingin, saya memutuskan menyantap Zoup a Soup sebagai hidangan pembuka demi menghangatkan tubuh saya. Hummm, rasanya sangat enak dan hangat tentunya! Setelah menghabiskan soup, saya tertarik untuk mencoba menu steak ala Sierra sebagai main course. Ternyata rasanya cukup khas dan enak, terutama sausnya yang disiramkan diatas steak. Kalau untuk minuman rasanya standar saja, saya pun memilih minuman favorit saya yaitu segelas milkshake yang cukup menyegarkan badan saya.
Suasana di Sierra semakin malam semakin ramai pengunjung. Sentuhan romantis makin terasa ketika dentingan piano yang dimainkan oleh pianis mengalunkan lagu-lagu yang membangkitkan mood romantisme. Keinginan untuk ber-slow dance terbersit dalam hati saya. Mungkin saya terbawa suasana Sierra yang amat romantis.
Selasar Soenaryo, Dago Atas

Keesokan harinya, saya dan teman-teman kembali berjalan-jalan ke wilayah Dago Atas, dan singgah di sebuah tempat unik bernama Selasar Soenaryo. Tentunya Anda sudah sering mendengar nama Soenaryo bukan? Ya, Selasar Soenaryo adalah milik Pak Soenaryo, salah seorang seniman perupa asal Bandung. Selasar Soenaryo merupakan tempat dimana para seniman dapat memperlihatkan hasil karyanya kepada khalayak penikmat seni. Jenis karya yang diperlihatkan di Selasar soenaryo tidak terbatas pada lukisan saja, tetapi terlihat pula beberapa karya seni instalasi yang sangat unik, yang juga difungsikan menjadi pemanis interior dan eksterior bangunan Selasar Soenaryo.

Jika lelah berkeliling Selasar Soenaryo, Anda bisa mampir di Café Selasar Soenaryo untuk mencicipi beragam jenis racikan minuman kopi, tentunya sambil ngobrol-ngobrol dengan teman ataupun sekedar menikmati kesejukan udara serta keindahan karya seni disana. Suasana cafe Selasar Soenaryo tidak terlalu ramai di siang hari, sehingga membuat pengunjung yang menginginkan ketenangan merasa nyaman.

Rumah Nenek (dekat Cilaki)
Sebelum kembali ke Jakarta, saya dan teman-teman menyempatkan diri untuk bersantap malam terlebih dahulu di Rumah Nenek. Ooopppss, Rumah Nenek yang dimaksud bukanlah rumah nenek saya lho, tetapi merupakan nama sebuah restoran yang terletak di dekat area Cilaki. Restoran ini dinamakan Rumah Nenek mungkin karena menu-menu yang ditawarkan adalah menu-menu masakan yang bisa menimbulkan nostalgia bagi para penikmatnya. Penataan interior di Rumah Nenek juga sangat klop dengan nama restorannya. Furniture dan berbagai macam hiasan penunjangnya berada pada satu tema yang sama, serta mampu menciptakan kesan bernostalgia di rumah nenek pada masa lampau.

Saya pun penasaran untuk mencoba menu sop buntut dan teh poci hangat rasa blueberry. Dan ternyata rasanya cukup enak dan cocok di lidah Indonesia saya. Teh-nya pun rasanya cukup unik. Harga makanan dan minuman di Rumah Nenek termasuk harga standar untuk restoran kelas menengah, kurang lebih hampir sama dengan Sierra.
Setelah puas berwisata kuliner dan sedikit berbelanja barang-barang distro dan FO di Bandung, saya dan teman-teman kembali ke Jakarta melalui tol Cipularang. Dua jam kemudian pun saya telah kembali berada di rumah.
Bandung memang salah satu tempat berwisata kuliner yang mengasyikan. Jika ada kesempatan, saya akan kembali berwisata kuliner di Bandung, tentunya dengan rute restoran yang berbeda.
